Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, July 22, 2009

Kontempelasi Tentang Kehidupan

Dulu, saya selalu merasa kasihan setiap kali melihat kambing atau sapi yang akan disembelih. Yah, namanya juga dulu. Tapi, ketika saya melihat seekor kambing (lagi) yang terikat di dekat sebuah masjid--dan dengan lamat mengunyah rumput-rumput yang disajikan padanya--baru-baru ini, saya kembali iba. Padahal saya sudah berumur kepala dua. Tepatnya, 20. Yang jelas, usia saya bukan usia bocah lagi.

Kadang saya pikir: betapa merana menjadi kambing. Menjadi sapi. Menjadi ayam. Mereka (harus) siap untuk dipotong atau digorok kapan saja; dimakan manusia--dijadikan gulai, sate, atau pelengkap sop hangat buatan bunda. Ya, kasihan sekali. Sampai beberapa waktu, saya tidak menemukan pelajaran yang berharga pada fenomena tersebut; kecuali kesedihan, iba, dan perasaan yang tak jelas asal-usul dan kemana arah tujuannya.

Sampai suatu hari, seorang guru mengatakan pada saya tentang sunnatullah. Ketentuan Allah: bahwa matahari, bulan, orbit, planet, galaksi, laut, tumbuh-tumbuhan, air, api, binatang melata dan yang berenang di perairan... semuanya patuh pada ketentuan Allah.

Lihatlah langit yang tidak jatuh--walau tak disangga tiang beton secuil pun, lihatlah matahari yang tak lelah bersinar--walau jutaan tahun telah berlalu, lihatlah planet-planet yang tetap berjalan pada orbitnya; tidak saling berebut jalur masing-masing, tidak saling bertabrakan. Lihatlah pula kematian api atas air, kelemahan daun yang gugur pada angin, cacing yang harus mati hanya karena terkena garam dapur. Semuanya patuh, tunduk, tidak memberontak. Mereka melaksanakan titah Robb mereka; dalam keadaan ikhlas maupun terpaksa.

Saya yakin: tak ada kambing atau sapi yang mau mati. Mereka hewan. Takut mati. Lihatlah rusa yang terbirit-birit kala dikejar singa--sekali-kali tontonlah Discovery Cahnnel atau film dokumenter hewan. Lihatlah tikus yang mencicit menjerit (ke-ta-kut-tan) saat seekor kucing mengeluarkan cakar dan taringnya untuk mencabik daging mereka. Lihatlah, betapa kambing dan sapi yang begitu enggan ditarik menuju tempat penyembelihan. Namun, pada akhirnya, mereka harus mati juga. Berakhir juga. Semuanya karena ketentuan Allah harus dijalankan. Harus dilakukan: suka ataupun tidak.

Maka, saat-saat ini, saya jadi malu pada bumi, udara, semut. Bahkan pada gunung, matahari, bulan, Jupiter dan Saturnus--dua planet bongsor yang melindungi bumi dari serangan hujan meteor yang dahsyat. Saya malu karena mereka sanggup patuh pada Allah. Saya malu karena mereka dapat menjadi hamba Allah yang tak sombong pada perintah-Nya. Saya malu pada kambing dan sapi: mereka bahkan rela meregang nyawa untuk taat dan jadi hamba sebenar-benar hamba.

Kini, saya mengerti kenapa hanya manusia dan jin yang dihisab pada yaumil hisab. Kenapa hanya kita yang dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti; bukannya kambing, sapi atau kucing tetangga sebelah. Kini saya juga mengerti alasan baru kenapa saya harus sedih melihat kambing yang akan disembelih; sedih karena saya dan anda belum tentu sanggup bertaqwa seperti mereka. Astaga: kenapa kita harus merasa lebih tinggi dari para kambing kalau kita belum membuktikan apa-apa mengenai 'kesempurnaan' kita sebagai manusia?

(Asa Mulchias*)

No comments:

Post a Comment