Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Wednesday, December 30, 2009

Off-Balance-Sheet Financing

What Does Off-Balance-Sheet Financing Mean?
A form of financing in which large capital expenditures are kept off of a company's balance sheet through various classification methods. Companies will often use off-balance-sheet financing to keep their debt to equity (D/E) and leverage ratios low, especially if the inclusion of a large expenditure would break negative debt covenants.

Investopedia explains Off-Balance-Sheet Financing
Contrast to loans, debt and equity, which do appear on the balance sheet. Examples of off-balance-sheet financing include joint ventures, research and development partnerships, and operating leases (rather than purchases of capital equipment).

Operating leases are one of the most common forms of off-balance-sheet financing. In these cases, the asset itself is kept on the lessor's balance sheet, and the lessee reports only the required rental expense for use of the asset. Generally Accepted Accounting Principles in the U.S. have set numerous rules for companies to follow in determining whether a lease should be capitalized (included on the balance sheet) or expensed.

This term came into popular use during the Enron bankruptcy. Many of the energy traders' problems stemmed from setting up inappropriate off-balance-sheet entities.

Liability dalam teori akuntansi

Pengertian

FASB mendefinisikan kewajiban dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAC No. 6, prg. 35):
Liabilities are probable future sacrifice of economic benefits arising from present obligations of a particular entity to transfer assets or provide services to other entities in the future as a result of past transactions events.
(Kewajiban adalah pengorbanan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang timbul dari keharusan sekarang suatu kesatuan usaha untuk mentransfer aset atau menyediakan/menyerahkan jasa kepada kesatuan lain di masa datang sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.)

Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi kewajiban sebagai berikut:
A liability is a present obligation of the enterprise arising from past events, the settlement of which is expected to result in an outflow from the enterprise resources embodying economic benefit.

Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Standard Board (AASB) mendefinisikan kewajiban sebagai berikut (prg. 12):
Liabilities are the future sacrifice of service potential or future economic benefits that the entity is presently obliged to make to other entities as a result of past transaction or other past events.

Seperti dalam mendefinisikan aset, APB No. 4 mendefinisikan kewajiban dengan menggabungkan makna, pengukuran, dan pengakuan sebagai berikut (prg. 132):
Liabilities – economic obligations of an enterprise that are recognized and measured in conformity with generally accepted accounting principles. Liabilities also include certain deferred credits that are not obligations but that are recognized and measured in comformity with generally accepted accounting principles

Definisi FASB digunakan sebagai basis pembahasan karena definisi tersebut cukup lengkap secara sistematik. Artinya definisi tersebut telah mencakupi berbagai gagasan atau kata kunci yang terkandung dalam beberapa definisi kewajiban oleh sumber-sumber lain. Definisi IASC dan AASB secara substantif tidak berbeda dengan definisi FASB.
APB No. 4 mendefinisi kewajiban dalam dua kata kunci yaitu economic obligations yang dihubungkan dengan generally accepted accounting principles (GAAP). Ini berarti bahwa APB menggabungkan pengertian kewajiban sekaligus menetapkan kriteria pengakuan dan pengukuran. Dengan demikian, pengertian kewajiban menjadi tidak lengkap tanpa memahami pengertian GAAP sehingga secara semantik definisi APB kurang lengkap dan kurang bersifat umum. Jadi, definisi APB lebih bersifat structural daripada semantik. Hal ini berbeda daripada AASB yang memisahkan antara pengertian (yang cukup luas dan lengkap) dan prosedur pengukuran dan pengakuan. Berbeda dengan definisi-definisi yang lain, APB memasukkan pos-pos tertentu yang bukan keharusan (not obligations) untuk mengorbankan sumber ekonomik sebagai bagian dari kewajiban. Pos-pos ini secara umum disebut kredit tangguhan misalnya pos pendapatan sewa takterhak (unearned rent revenues).
Dengan berbagai variasi di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa kewajiban mempunyai tiga karakteristik utama yaitu: (a) pengorbanan manfaat ekonomik masa datang, (b) keharusan sekarang untuk mentransfer aset, dan (c) timbul akibat transaksi masa lalu. Seperti aset, karakteristik (a) merupakan kriteria utama dan lebih memuat aspek sematik sedangkan kriteria (b) dan (c) lebih memuat aspek struktural pengakuan.

Pengorbanan Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu objek harus memuat suatu tugas (duty) atau tanggung jawab (responsibility) kepada pihak lain yang mengharuskan kesatuan usaha untuk melunasi, menunaikan, atau melaksanakannya dengan cara mengorbankan manfaat ekonomik yang cukup pasti di masa datang. Pengorbanan manfaat ekonomik diwujudkan dalam bentuk transfer atau penggunaan aset kesatuan usaha. Cukup pasti di masa datang mengandung makna bahwa jumlah rupiah pengorbanan dapat ditentukan dengan layak. Demikian juga, saat pengorbanan manfaat ekonomik dapat ditentukan atas dasar kejadian tertentu atau atas permintaan pihak lain (on demand).

Keharusan Sekarang

Untuk dapat disebut sebagai kewajiban, suatu pengorbanan ekonomik masa datang harus timbul akibat keharusan (obligations atau duties) sekarang. Pengertian ”sekarang” (present) dalam hal ini mengacu pada dua hal: waktu dan adanya. Waktu yang dimaksud adalah tanggal pelaporan (neraca). Artinya, pada tanggal neraca kalau perlu atau kalau dipaksakan (secara yuridis, etis, atau rasional) pengorbanan sumber ekonomik harus dipenuhi karena keharusan untuk itu telah ada. Tentu saja jumlah rupiah pengorbanan yang dipaksakan pada tanggal neraca tidak akan sebesar jumlah rupiah yang akan dibayar di masa yang akan datang (setelah tanggal neraca). Perbedaan ini terjadi akibat sifat yang melekat pada kewajiban yaitu bunga yang bermakna sebagai nilai waktu uang atau harga penundaan (the time value of money or the price of delay).

Keharusan Kontraktual adalah keharusan yang timbul akibat perjanjian atau peraturan hukum yang di dalamnya kewajiban bagi suatu kesatuan usaha dinyatakan secara eksplisit atau implisit dan mengikat. Kewajiban ini muncul karena aspek hukum sebagai lingkungan eksternal yang tidak dapat dihindari (unavoidable) dan yang dapat memaksakan secara hukum untuk memenuhinya (legally enforceable). Penghindaran kewajiban dari keharusan kontraktual menimbulkan sanksi atau hukuman (penalty).

Keharusan Konstruktif adalah keharusan yang timbul akibat kebijakan kesatuan usaha dalam rangka menjalankan atau memajukan usahanya untuk memenuhi apa yang disebut praktik usaha yang baik (best business practices) atau etika bisnis (business ethics) dan bukan untuk memenuhi kewajiban yuridis.

Keharusan demi keadilan adalah keharusan yang ada sekarang yang menimbulkan kewajiban bagi perusahaan semata-mata karena panggilan etis atau moral daripada karena peraturan hukum atau praktik bisnis yang sehat. Keharusan ini muncul dari tugas (duties) kepada pihak lain untuk melaksanakan sesuatu yang dipandang wajar, dan benar menurut hati nurani (conscience) dan rasa keadilan (sense of justice). Tidak ada sanksi hukum untuk tidak memenuhi keharusan ini tetapi kewajiban ini mengikat lantaran sanksi sosial atau moral.

Keharusan bergantung atau bersyarat adalah keharusan yang pemenuhannya (jumlah rupiahnya atau jadi-tidaknya dipenuhi) tidak pasti karena bergantung pada kejadian masa datang atau terpenuhinya syarat-syarat tertentu di masa datang. Kebergantungan (contingency) adalah suatu kondisi, situasi, atau serangkaian keadaan yang melibatkan ketidakpastian (uncertainty) yang menyangkut laba (gain contingency) atau rugi (loss contingency) yang mungkin terjadi. Munculan (outcome) yang harus dikonfirmasi dengan kejadian atau syarat masa datang untuk kedua kebergantungan tersebut adalah:
1. Yang berkaitan dengan kebergantungan laba.
2. Yang berkaitan dengan kebergantungan rugi.
a. Cukup pasti (probable)
b. Agak pasti (reasonably possible)
c. Jauh dari pasti (remote)

Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu

Transaksi masa lalu yang dimaksud di sini adalah transaksi yang menimbulkan keharusan sekarang telah terjadi. Sebagai contoh, karena perusahaan mendapat pinjaman bank (dengan kontrak), keharusan sekarang berupa keharusan kontraktual timbul pada akhir perioda akuntansi (berupa pokok pinjaman dan bunga) yang menuntut pengorbanan sumber ekonomik masa datang (suatu saat setelah akhir perioda tersebut). Dalam hal ini, penandatanganan kontrak merupakan peristiwa yang telah terjadi yang menimbulkan keharusan. Akan tetapi, tidak semua penandatanganan kontrak dengan sendirinya menimbulkan keharusan. Sebelum salah satu pihak melaksanakan (to perform) apa yang diperjanjikan, kontrak akan bersifat eksekutori.

Hak-Kewajiban Tak bersyarat

Konsep ini menyatakan ”tidak ada hak tanpa kewajiban dan sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak”. Secara teknis, konsep ini diartikan bahwa hak atau kewajiban timbul bila salah satu pihak telah berbuat sesuatu (to perform). Kontrak-kontrak semacam ini dikenal dengan nama kontrak saling-mengimbangi takbersyarat (unconditionally offsetting contracts) atau kontrak eksekutori (executory contracts).
Transaksi atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menandai pengakuan hak dan kewajiban dalam suatu kontrak menurut Most (1982, hlm. 352):
1. Tanggal kontrak ditandatangani.
2. Tanggal objek kontrak telah diperoleh salah satu pihak.
3. Tanggal objek kontrak telah siap digunakan oleh salah satu pihak.
4. Tanggal objek kontrak telah dipisahkan untuk digunakan oleh pihak lain.
5. Tanggal objek kontrak telah diserahkan.
6. Tanggal telah diterima/dibayarnya uang muka, kalau ada.
7. Dalam kasus kontrak kontruksi jangka panjang:
a. Suatu titik selama konstruksi berjalan.
b. Pada saat kontruksi dimulai.
Saat penentuan transaksi masa lampau perlu dipertimbangkan dengan saksama dengan memperhatikan kondisi yang melingkupi suatu kontrak. Most mengemukakan hal yang harus dipertimbangkan untuk memilih saat yang tepat yaitu:
a. Pemenuhan definisi aset dan kewajiban.
b. Berkekuatan mengikat (firmness of the commitment) yaitu seberapa kuat bahwa pelaksanaan kontrak tidak dapat dibatalkan.
c. Kebermanfaatan bagi keputusan.

Karakteristik Pendukung Kewajiban

Keharusan membayar kas. Adanya pengeluaran kas merupakan hal penting untuk mengaplikasi definisi kewajiban karena dua hal yaitu: (1) sebagai bukti adanya suatu kewajiban dan (2) sebagai pengukur atribut atau besarnya kewajiban yang cukup objektif.
Identitas terbayar jelas. Yang terpenting adalah bahwa keharusan sekarang pengorbanan sumber ekonomik di masa datang telah ada dan bukan siapa yang harus dilunasi atau dibayar. Akan tetapi, pada saat pelunasan kewajiban, terbayar dengan sendirinya harus teridentifikasi.
Berkekuatan hukum. Memang pada umumnya, keharusan suatu entitas untuk mengorbankan manfaat ekonomik timbul akibat klaim yuridis (legal claims) yang mempunyai kekuatan memaksa. Adanya daya paksa yuridis hanya menunjukkan bahwa kewajiban tersebut memang ada dan dapat dibuktikan secara yuridis material. Meskipun demikian, daya paksa yang melekat pada klaim-klaim hukum bukan merupakan syarat mutlak untuk mengakui adanya kewajiban. Keharusan melakukan pengorbanan manfaat ekonomik masa datang tidak harus timbul dari desakan pihak eksternal tetapi dari minat atau kebijakan internal manajemen. Itulah sebabnya kewajiban mencakupi pengorbanan sumber ekonomik masa depan yang timbul akibat keharusan konstraktif dan demi keadilan.

Pengakuan, Pengukuran, dan Penilaian

Kalau aset yang direpresentasi oleh kos mengalami tiga tahap perlakuan (pemerolehan, pengolahan, dan penyerahan), kewajiban sebenarnya juga mengalami tiga tahap perlakuan yaitu: penangguhan (pengakuan terjadinya), penelusuran, dan pelunasan (penyelesaian). Dalam hal kewajiban, penelusuran berarti penentuan status dan jumlah rupiah (kos) kewajiban setiap saat. Penentuan kos setiap saat (termasuk pada tanggal neraca) dapat disebut dengan penilaian kewajiban. Begitu terjadi dan dicatat atau diakui, kewajiban akan tetap menjadi kewajiban sampai kesatuan usaha menyelesaikannya, atau sampai adanya transaksi atau kejadian yang membatalkannya atau yang membebaskan kesatuan usaha dari keharusan untuk melunasinya.

Pengakuan

Kam mengajukan empat kaidah pengakuan untuk menandai pengakuan kewajiban yaitu (hlm. 119-120):
1. Ketersediaan dasar hukum. Ketersediaan dasar hukum yang menimbulkan daya paksa hanya merupakan karakteristik pendukung definisi kewajiban. Jadi, kaidah ini tidak mutlak sehingga kewajiban juga dapat diakui bila terdapat bukti substantif adanya keharusan konstruktif atau demi keadilan.
2. Keterterapan konsep dasar konservatisma. Kaidah ini merupakan penjabaran teknis kriteria keterandalan. Keadaan-keadaan tertentu yang menjadikan konsep konservatisma terterapkan dapat memicu pengakuan kewajiban. Implikasi dianutnya konsep konservatisma adalah rugi dapat segera diakui tetapi tidak demikian dengan untung.
3. Ketertentuan substansi ekonomik transaksi. Substansi suatu transaksi dapat memicu pencatatan seluruh kewajiban yang timbul ketika transaksi terjadi meskipun secara yuridis/kontraktual kewajiban baru akan mengikat secara berkala pada saat keharusan sekarang timbul. Kaidah ini berkaitan dengan masalah relevansi informasi.
4. Keterukuran nilai kewajiban. Keterukuran merupakan salah satu syarat untuk mencapai kualitas keterandalan informasi. Definisi kewajiban mengandung kata cukup pasti (probable) yang mengacu tidak hanya pada terjadinya pengorbanan sumber ekonomik masa datang tetapi juga pada jumlah rupiahnya.
Yang menjadi masalah teknis adalah kapan keempat kaidah di atas dipenuhi. Hendriksen dan van Breda (1991, hlm. 675-676) menunjukkan saat-saat untuk mengakui kewajiban yaitu:
1. Pada saat penandatanganan kontrak bila pada saat itu hak dan kewajiban telah mengikat.
2. Bersamaan dengan pengakuan biaya bila barang dan jasa yang menjadi biaya belum dicatat sebagai aset sebelumnya.
3. Bersamaan dengan pengakuan aset.
4. Pada akhir perioda karena penggunaan asas akrual melalui proses penyesuaian.

Pengakuan Kewajiban Bergantung

FASB memberi contoh keadaan-keadaan kebergantungan rugi (loss contingencies) yang berpotensi memicu pengakuan kewajiban sebagai berikut (SFAC No. 5, prg. 4):
1. Ketertagihan piutang usaha.
2. Keharusan berkaitan dengan jaminan produk dan kerusakan produk.
3. Risiko rugi atau kerusakan properitas (fasilitas) kesatuan usaha akibat kebakaran, ledakan, dan bahaya lainnya.
4. Ancaman pengambilalihan aset oleh pemerintah.
5. Persengketaan yang memberatkan atau menunggu keputusan.
6. Klaim atau pungutan yang telah diajukan/dikenakan atau yang mungkin (possible) terjadi.
7. Risiko rugi akibat bencana yang ditanggung oleh perusahaan asuransi kerugian dan kecelakaan dan perusahaan reasuransi.
8. Jaminan atas utang pihak lain.
9. Perjanjian untuk membeli kembali piutang atau aset yang terkait yang telah dijual.

Pengukuran

Pengukuran yang paling objektif untuk menentukan kos kewajiban pada saat terjadinya adalah penghargaan sepakatan (measured considerations) dalam transaksi-transaksi tersebut dan bukan jumlah rupiah pengorbanan ekonomik masa datang. Hal ini berlaku khususnya untuk kewajiban jangka panjang.
Untuk kewajiban jangka pendek, kos penundaan dianggap tidak cukup material sehingga jumlah rupiah kewajiban yang diakui akan sama dengan jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik (kas) masa datang. Dengan kata lain, untuk kewajiban jangka pendek, kos pendanaan (financing cost) atau kos penundaan (bunga sebagai nilai waktu uang) dianggap tidak material.
Penghargaan sepakatan suatu kewajiban merefleksi nilai setara tunai atau nilai sekarang (current value) kewajiban yaitu jumlah rupiah pengorbanan sumber ekonomik seandainya kewajiban dilunasi pada saat terjadinya.

Kewajiban Dalam Pembelian Kredit

Dasar pengukuran aset yang paling objektif adalah kos tunai (cash cost) atau kos tunai implisit (implied cash cost). Karena kewajiban merupakan bayangan cermin asset, pengukuran juga mengikuti pengukuran asset.

Diskun dan Premium Utang Obligasi
Nilai nominal atau jatuh tempo utang obligasi sering dianggap sebagai jumlah rupiah kesepakatan pada saat penerbitan obligasi baik bagi penerbit maupun kreditor. Dasar pengukuran demikian sebenarnya tidak tepat. Untuk suatu kontrak utang dengan ketentuan pembayaran bunga periodik dan pokok pinjaman pada akhir jangka kontrak, pengukuran jumlah rupiah (kos) utang dan aset untuk dasar pencatatan pertama kali yang tepat adalah kos tunai implisit.

Makna Harga Efektif Obligasi

Selisih nominal dengan penghargaan sepakatan merupakan diskun obligasi. Bagi penerbit obligasi, perhitungan biaya bunga menjadi tidak lengkap (tepat) apabila tidak memperhatikan perhitungan bunga periodik dan akumulasi diskun. Jumlah rupiah utang obligasi tiap saat (keharusan saat itu) sebelum jatuh tempo akan terlalu besar apabila dinyatakan sebesar nominalnya.

Diskun Obligasi

Diskun utang obligasi pada waktu penerbitan adalah suatu jumlah rupiah debit yang menunjukkan biaya bunga yang harus dibayar pada tanggal jatuh tempo. Dengan demikian, diskun tersebut harus dilaporkan dalam neraca sebagai pengurang nilai nominal (jatuh tempo) utang obligasi.

Premium Obligasi

Mengartikan premium obligasi sebagai “pendapatan tangguhan” (deferred income) jelas tidak tepat karena secara konseptual pendapatan atau laba tidak timbul dari proses pemerolehan utang.

Kewajiban Moneter dan Nonmoneter

Kewajiban moneter adalah kewajiban yang pengorbanan sumber ekonomik masa datangnya berupa kas dengan jumlah rupiah dan saat yang pasti (baik jumlah tunggal maupun beberapa pembayaran secara berkala)
Kewajiban Nonmoneter adalah keharusan untuk menyediakan barang dan jasa dengan jumlah dan saat yang cukup pasti yang biasanya timbul karena timbul karena penerimaan pembayaran di muka untuk barang dan jasa tersebut.

Penilaian

Kalau pengukuran mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang (the value of current obligation) pada saat terjadinya, penilaian mengacu pada penentuan nilai keharusan sekarang pada setiap saat antara terjadinya kewajiban sampai dilunasinya kewajiban. Makin mendekati saat jatuh tempo, nilai kewajiban akan makin mendekati nilai nominal (face value) kewajiban.

Pelunasan

Pelunasan adalah tindakan atau upaya yang sengaja dilakukan oleh kesatuan usaha untuk memenuhi (to satisfy) kewajiban pada saatnya dan dalam kondisi normal usaha (in due course of business) sehingga dia terbebas dari kewajiban tersebut.
Pada mulanya FASB menetukan kriteria lenyapnya suatu kewajiban dalam SFAC No. 76 (prg. 3) sebagai berikut:
1. Debitor membayar/melunasi kreditor dan bebas dari semua keharusan yang berkaitan dengan utang.
2. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang (obligor) utama baik oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor dan dapat dipastikan (probable) bahwa kreditor tidak akan diharuskan untuk melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan utang dengan penjaminan dalam bentuk apapun (debt under any guarantees).
3. Debitor menaruh kas atau aset lainnya yang tidak dapat ditarik kembali dalam suatu perwalian (trust) yang semata-mata digunakan untuk pelunasan pembayaran bunga serta pokok suatu pinjaman tertentu dan sangat kecil kemungkinan bagi debitor untuk diharuskan lagi melakukan pembayaran di masa datang yang berkaitan dengan pinjaman tersebut.

Ketentuan di atas telah diganti melalui SFAS No. 125 yaitu:
1. Debitor membayar kreditor dan terbebaskan dari keharusan yang melekat pada kewajiban.
2. Debitor telah dibebaskan secara hukum dari statusnya sebagai penanggung utang (obligor) utama baik oleh keputusan pengadilan maupun oleh kreditor.

Transfer Aset Finansial
Untuk melunasi kewajiban, suatu entitas dapat mentransfer aset finansial (termasuk kas), barang, atau jasa. Pada umumnya, bila kewajiban telah dilunasi dengan mentransfer secara penuh kas, barang, atau jasa ke debitor, maka pada saat itu pelunasan dianggap tuntas. Debitor tidak lagi terlibat dengan aset atau kreditor secara finansial. Pelunasan kewajiban dengan aset finansial juga dapat bersifat tuntas bila penyerahan aset finansial bersifat takbersyarat dan dianggap sebagai penjualan. Artinya, aset finansial dianggap dijual secara tunai dan kas yang diterima seketika itu pula dianggap untuk melunasi kewajiban.

Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo

Bila kewajiban dilunasi pada saat jatuh tempo, nilai jatuh tempo (nominal) dengan sendirinya merefleksi nilai sekarang (saat pelunasan) kewajiban sehingga tidak ada selisih antara jumlah rupiah yang dibayar dan nilai nominal. Nilai jatuh tempo juga akan sama dengan nilai buku atau nilai bawaan (carrying value) kewajiban karena proses amortisasi selisih antara nominal dan nilai pasar pada saat penerbitan utang (misalnya obligasi). Selama beredar, nilai pasar atau nilai sekarang kewajiban berfluktuasi mengikuti tingkat bunga yang berlaku tetapi pada umumnya fluktuasi tersebut tidak diakui dalam pembukuan debitor. Dengan kata lain, debitor tidak mengakui adanya untung atau rugi fluktuasi harga. Oleh karena itu, bila utang dilunasi sebelum jatuh tempo (APBO No. 26 menyebutnya sebagai early extinguishment of debt), debitor harus menebus utang tersebut dengan harga pasarnya sehingga dapat terjadi selisih antara nilai bawaan dan nilai penebusan.

Utang Terkonversi

Instrumen finansial pada dasarnya merupakan alat pembayaran atau penjaminan sehingga dapat digunakan oleh pemegangnya untuk melunasi utang. Utang terkonversi atau konvertibel (convertible debt) merupakan salah satu instrumen finansial tersebut. Sekuritas utang semacam ini biasanya mempunyai status sebagai kewajiban dan ekuitas sekaligus. Artinya, pemegang instrumen mempunyai hak istimewa untuk mengubah status utang menjadi ekuitas setiap saat selama hak tersebut masih berlaku (belum habis). Instrumen semacam ini merupakan salah satu bentuk dari apa yang disebut sekuritas hibrida (hybrid securities).
Contoh yang paling sering dijumpai dalam praktik adalah obligasi terkonversi (convertible bond). Obligasi terkonversi pada umumnya diterbitkan untuk menarik para investor karena mereka dapat menggeser risiko atau mengubah status sekuritas menjadi lebih menguntungkan. Hak konversi digunakan untuk menarik investor untuk mengimbangi tingkat bunga nominal yang terlalu rendah dibanding tingkat bunga umum. Oleh karena itu, harga perdana biasanya jauh lebih tinggi dari obligasi biasa (nonterkonversi/nonconvertible) dengan tingkat risiko (rating) yang sama. Kelebihan ini dapat dipandang sebagai harga hak konversi yang setara dengan hak opsi atau waran (options atau warrants) seandainya saham diterbitkan secara terpisah.
Hendriksen dan van Breda (1991, hlm. 688) menunjukkan bahwa obligasi terkonversi biasanya mempunayai karakteristik sebagai berikut:
1. Tingkat bunga nominal jauh di bawah tingkat bunga pasar untuk obligasi biasa yang setara.
2. Harga konversi yang ditetapkan lebih tinggi dari harga pasar saham biasa.
3. Harga konversi tidak pernah menurun selama masa hak konversi kecuali karena penyesuaian yang diperlukan akibat pengambilan hak yang melekat pada saham biasa seperti dalam hal terjadi pemecahan saham atau dividen saham.

Penyajian

Secara umum, kewajiban disajikan dalam neraca atas dasar urutan kelancarannya sejalan dengan penyajian aset. PSAK No. 1 (pasal 39) menggariskan bahwa aset lancar disajikan menurut likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh tempo. Ini berarti kewajiban jangka pendek disajikan lebih dahulu daripada kewajiban jangka panjang. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengevaluasi likuiditas perusahaan. Dari segi urutan perlindungan dan jaminan (sequence of protection), utang yang dijamin pada umumnya disajikan lebih dahulu untuk menunjukkan bahwa dalam hal terjadi likuidasi utang ini harus dibayar lebih dahulu. Juga, dari sudut urutan perlindungan, kewajiban disajikan lebih dahulu daripada ekuitas.
PSAK No. 1 menentukan bahwa semua kewajiban yang tidak memenuhi kriteria sebagai kewajiban jangka pendek harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. Suatu kewajiban diklasifikasi sebagai kewajiban jangka pendek bila (paragraph 44):
1. diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi perusahaan; atau
2. jatuh tempo dalam jangka waktu dua belas bulan dari tanggal neraca.

Hak Mengkompensasi

Telah disinggung sebelumnya bahwa kewajiban tidak selayaknya disajikan di neraca dengan mengkompensasinya atau mengkontraknya dengan aset yang dianggap berkaitan. Ada kalanya hak mengkompensasi diperbolehkan bila kondisi tertentu dipenuhi. Kondisi ini biasanya berkaitan dengan apa yang disebut sebagai kontrak bersyarat (conditional contracts) dan kontrak pertukaran (exchange contracts).
Kontrak bersyarat adalah kontrak yang hak dan kewajibannya bergantung pada timbulnya kejadian masa datang tertentu yang belum tertentu terjadi dan dapat mengubah saat (timing) penerimaan, penyerahan, atau pertukaran jumlah rupiah atau instrumen keuangan. Contoh kontrak semacam ini misalnya adalah futures contracts dan forward purchase-sale contract. Kontrak pertukaran adalah kontrak yang mewajibkan adanya pertukaran aset dan kewajiban di masa datang dan bukan hanya transfer aset dari satu pihak saja. Contoh kontrak semacam ini misalnya adalah interest rate swaps dan currency swaps.
Hak mengkompensasi adalah hak yuridis debitor, lantaran kontrak atau lainnya, untuk menghapus semua atau sebagian utang kepada pihak lain dengan cara mengkompensasi utang tersebut dengan jumlah yang pihak lain berutang kepada debitor. Hak mengkompensasi dikatakan ada bilamana semua kondisi berikut dipenuhi:
1. Tiap pihak dari dua pihak yang berkontrak utang kepada yang lain suatu jumlah rupiah tertentu.
2. Pihak pelapor (reporting party) mempunyai hak mengkompensasi jumlah yang diutangnya dengan jumlah yang diutang pihak lain.
3. Pihak pelapor memang berniat untuk mengkompensasi.
4. Hak mengkompensasi terpaksakan secara hukum

Vierra - Perih

Dirimu…
Tak pernah menyadari
Semua…
Yang telah kau miliki
Kau buang aku, tinggalkan diriku
Kau… hancurkan aku seakan ku tak pernah ada

Reff:
Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih… walau perih…

Salahkah…
Aku terlalu cinta
Berharap..
Semua kan kembali
Kau buang aku,tinggalkan diriku
Kau.. hancurkan aku
Seakan ku tak pernah ada

Back to Reff

Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih…

Aku kan bertahan
Meski takkan mungkin
Menerjang kisahnya
Walau perih… walau perih…
Walau perih….walau perih…

SMS akhir tahun...

hidup hanya sebentar
sebentar senang
sebentar sedih
sebentar bokek
sebentar banyak duit
sebentar nangis
sebentar ketawa
Eh, sebentar lagi ganti tahun
Met tahun baru ya

let sun bring you hope
let stars bring you rightness
let love bring you happiness
let my message bring you the dream come true
happy new year 2010
wish you all the best

|””|__|””|.*.*.*.*.
| APPY.*.*.*
|__|””|__|.*.*.*.*
*.*.*.*.*.*.*.*.*.
*. NEW YEAR ..... *
*.==.== .*

2 U & UR FAMILY

buka hati dapat cinta
buka tangan dapat persahabatan
buka mata dapat pemandangan
buka handphone dapat pesan
buka pesan dapat ucapan
selamat tahun baru 2010 ya

Tahun 2009 akan berakhir
Banyak salah dan khilaf yang kulakukan
Tentunya maafmu ku harap lahir
Sehingga senyum kita tunjukkan…di tahun 2010 nanti.

Kotak - Pelan pelan saja

Kutahu kamu pasti rasa
Apa yang kurasa

Kutahu cepat atau lambat
Kamu kan mengerti

Hati bila dipaksakan
Pasti takkan baik

Pantasnya kamu mencintai,
Yang juga cintai dirimu
Cinta kamu ...

Reff:
Lepaskanlah, Ikatanmu
Dengan aku
Biar kamu senang
bila berat
melupakan aku
pelan-pelan saja

Tak ada niat menyakiti
Inilah Hatiku

Pantasnya kamu mencintai,
yang juga cintai dirimu
Cinta kamu ...

Download:

Kotak - Pelan Pelan Saja.mp3

Tuesday, December 29, 2009

Building a Bridge from Fragmentation to Accountability -- The Prometheus Payment Model

Abstrak

Unlike the current payment system, Prometheus provides larger profit margins for providers who can eliminate these complications, since they keep any unused PAC allowance -- they profit by delivering optimal care, not a greater volume of care.

Isi

In the current debate over health care reform, many observers are proposing new delivery structures to move U.S. health care away from fragmentation, poor performance, and dysfunction toward accountability for high-value care. Ideally, these new structures would promote clear accountability for both improving quality and controlling costs and would encourage health care professionals to organize themselves into teams working on behalf of patients. For such structures to be sustainable, however, the payment system must reward professionals for the quality and efficiency of services, rather than the quantity.

Our fee-for-service payment schemes have contributed to, if not largely created, the current fragmentation. Fee-for-service payments create incentives to provide high volume rather than high value -- more, not better, care. So what kinds of payment could promote and sustain high-value care and motivate the development of accountable care organizations? Most experts agree that some sort of bundled, episode-based payment would help to move the system in the right direction. Our own approach, the Prometheus Payment model, for instance, bundles services and provides a budget with three components: evidence-informed base payment with patient-specific severity adjustments and an allowance for potentially avoidable complications (see box, "The Prometheus Model"). 1 2 The model has been developed and evaluated through several small pilot projects, which offer some lessons about the ability of episode-based payment to improve cost and quality within the current fee-for-service system. This kind of payment aims to foster outcomes-focused collaboration among otherwise unaffiliated providers and offers a bridge from our fragmented system to a more integrated, accountable one.

The model encourages two behaviors that fee for service discourages: collaboration of physicians, hospitals, and other providers involved in a patient's care; and active efforts to reduce avoidable complications of care (and the costs associated with them). It accomplishes these goals by paying for all the care a patient needs over the course of a defined clinical episode or a set period of management of a chronic condition, rather than paying for discrete visits, discharges, or procedures.

When incentives are used to drive changes in behavior, it is important that people and organizations are held accountable only for the variables that are actually under their control. 3 That's why, in designing the Prometheus model, we decided to focus on the potentially avoidable costs of patient care. We separated the costs attributable to patient-related factors from those attributable to providers' actions. These latter costs are critically important in terms of accountability. In Prometheus, these potentially avoidable costs are called PACs and are recognized as the result of "care defects" -- problems necessitating technical care that are under the professionals' control and that, with the best professional standards, could have been avoided. PACs might include the cost of hospitalization of a patient with uncontrolled diabetes or the readmission for a wound infection of a patient who had recently been discharged after cardiac bypass surgery.

The opportunities for improving quality while reducing costs are substantial, reaching far beyond the well-publicized problem of avoidable readmissions. Our analyses of several national and regional data sets, in addition to our pilot work, show that PACs account for 22% of all private-sector health care expenditures in the United States. 4 5 The data show that PACs can account for as much as 80% of all dollars spent for conditions such as congestive heart failure that require intensive management and that there are significant regional variations in PACs. On the basis of our current findings, we project that even a modest reduction in PACs from one year to the next would have a considerable effect on the private sector's portion of health care spending over the next 10 years (see graph).

Projected Private-Sector National Health Expenditures under Current Assumptions and If Potentially Avoidable Costs Were Reduced by Either 10% or 15% Per Year.
Data are from the Department of Health and Human Services 2009 and our own analysis. PAC denotes potentially avoidable cost.


If such results were replicated in a Medicare population, the potential savings would double, reducing the country's health care bill by more than $700 billion over 10 years.

Unlike the current payment system, Prometheus provides larger profit margins for providers who can eliminate these complications, since they keep any unused PAC allowance -- they profit by delivering optimal care, not a greater volume of care. Prometheus also avoids some of the classic pitfalls of capitation. Capitation has the unfortunate effect of transferring essentially all risk (including insurance risk) to providers and then encouraging them to pursue undifferentiated reductions in services in order to maximize financial gain. Prometheus mitigates those capitation problems -- in part because the occurrence of a new case simply triggers a new patient-specific, severity-adjusted case rate and in part because typical costs and PACs are tracked and accounted for separately and, for now, opportunities for increasing financial gain are limited to decreases in PACs.

Clinical integration may be one way for providers to succeed under Prometheus, but it's not the only way. In fact, for most of the delivery system, the changes that are required to achieve full integration are neither feasible nor desired by many potential participants. Though there may be minimal organizational requirements for managing patient care in ways that minimize PACs, it is the act of collaboration, not a particular form of organization, that Prometheus attempts to promote.

One lesson from our pilots is that hospital-centric provider organizations can expect increased internal tension when they implement an episode-of-care payment system. Prometheus does provide a sort of bonus to the hospital and physicians for working together to avoid readmission (see box, "Prometheus in Practice"). However, physician groups that are paid under the model for managing chronic conditions have substantial opportunities to increase the profits that come from avoiding expensive hospitalizations. This incentive can highlight potential conflicts between the financial interests of physicians and those of hospitals and cause us to question the proposition that hospital-centric provider organizations will deliver the best results for the country.

Prometheus does not require that a single integrated organization accept payment for an entire episode of care; we recognize that unrelated providers often overtly or tacitly comanage a patient's care. A limitation of many episode-payment programs is their reliance on prospective payment, which forces the payer to find organizations that will accept the global fee. The Prometheus model, by contrast, can be implemented in a fragmented, largely fee-for-service delivery system if the payer retains the role of financial integrator. Over time, as providers collaborate to improve patient care and optimize their margins, they could more formally integrate into accountable organizations. However, it will and should be their choice to do so.

To facilitate this transition, the current Prometheus pilot sites are not using prospective payment. Instead, budgets are set prospectively, and payers reimburse providers for all fee-for-service claims submitted. Quarterly actual spending for typical and potentially avoidable care is reconciled against the budgets, and detailed reports are made available. Yet the incentives are the same as they would be with prospective payment: if actual spending is under budget, the difference is paid out as a bonus; if it is over budget, some payment is withheld.

Prometheus is not appropriate for reimbursements for all conditions, but there is sufficient evidence to define both typical care and PACs for types of episodes that account for half to two thirds of health care expenditures. At a minimum, our efforts to translate our conceptual model into practice suggest that it can effectively provide a bridge from the current fragmented delivery system to an accountable care system in which collaboration and the pursuit of excellence are the norm.

The Prometheus Model

Developed in 2006, the Prometheus Payment model now has three pilot programs in operation, supported by the Robert Wood Johnson Foundation. The model attempts to go beyond pay-for-performance approaches to pay for individual, patient-centered treatment plans that reward providers fairly for coordinating and providing high-quality and efficient care. Prometheus packages payment around a comprehensive episode of medical care that covers all patient services related to a single illness or condition. Decisions about which services will be covered for a given type of episode are made according to commonly accepted clinical guidelines or expert opinions that outline the tested, medically accepted best method for treating the condition from the beginning of an episode to the end. The prices of all included treatments are tallied to generate an "evidence-informed case rate" (ECR), which becomes a patient-specific budget for the entire care episode. ECRs include all the covered services related to the care of a single condition -- services provided by everyone who would typically be involved (hospital, physicians, laboratory, pharmacy, rehabilitation facility, and so forth). The ECR is adjusted for the severity and complexity of the individual patient's condition, and it incorporates an allowance for a portion of the current costs associated with potentially avoidable complications.

Prometheus in Practice

A 63-year-old white man with chest pain and a history of unstable angina is admitted to a teaching hospital. The patient has hypertension and diabetes. An electrocardiogram reveals ST-segment elevation in the lateral leads. The man is taken to the cardiac catheterization laboratory, where coronary angiography reveals severe triple-vessel disease as well as 60% stenosis of the left main coronary artery. A left ventriculogram shows mitral regurgitation (grade 2 to 3) with papillary muscle dysfunction. The patient is then taken urgently to the operating room, where he receives two venous grafts and a left-internal-thoracic-artery graft. In addition, a mitral-valve reconstruction procedure is performed to correct the mitral regurgitation. The surgery is a success, and the patient returns to the intensive care unit in stable condition. However, his blood sugar is out of control, and he requires an insulin drip. His stay in the intensive care unit is prolonged by 2 days, and he must stay another day in the step-down unit. He is discharged 8 days after surgery in stable condition. One week after discharge, he is readmitted for a wound infection in his leg from the vein harvest site. He requires wound débridement and a course of antibiotics.

Under fee-for-service payment, the hospital would receive $47,500 for the bypass surgery, and the surgeon would receive $15,000 for performing the procedure. The extended hospital stay that was necessitated by the uncontrolled diabetes would result in an additional $12,000 for the hospital and $2,000 for the physician, and the readmission costs would total $25,000, for a grand total of $101,500.

Under Prometheus, the case-payment rate for this patient would include a severity-adjusted budget for typical costs of $61,000 for the hospital and $13,000 for the physician. The severity-adjusted allowance for PACs would be $15,300, for a total budget of $89,300. Had the readmission been prevented, the hospital and physician would effectively have earned a bonus of $12,800 ($101,500 - $25,000 = $76,500, which is $12,800 less than the Prometheus budget).

From Bridges to Excellence, Newtown, CT (F.B.); the Harvard School of Public Health, Boston (M.B.R.); and the Robert Wood Johnson Foundation, Princeton, NJ (M.P.).

This article (10.1056/NEJMp0906121) was published on August 19, 2009, at NEJM.org.

Mr. de Brantes reports serving as chief executive officer of Bridges to Excellence, which runs the Prometheus Payment model. Dr. Rosenthal reports having served on the original design team for Prometheus Payment and on the board of Prometheus Payment and participating in the evaluation of Prometheus pilots with funding from the Robert Wood Johnson Foundation. Dr. Painter reports supervising the implementation grant for the Prometheus Payment pilots for the Robert Wood Johnson Foundation. No other potential conflict of interest relevant to this article was reported.

Referensi

1. de Brantes F, Camillus J. Evidence informed case rates: a new health care payment model. Washington, DC: The Commonwealth Fund, April 17, 2007. (Accessed August 20, 2009, at http://www.commonwealthfund.org/Content/Publications/Fund-Reports/2007/Apr/Evidence-Informed-Case-Rates--A-New-Health-Care-Payment-Model.aspx.)
2. Gosfield A. Making Prometheus Payment rates real: ya' gotta start somewhere. Princeton, NJ: Robert Wood Johnson Foundation, June 2008. (Accessed August 20, 2009, at http://www.rwjf.org/pr/product.jsp?id=32051.)
3. Rosenthal MB, Fernandopulle R, Song HR, Landon B. Paying for quality: providers' incentives for quality improvement. Health Aff (Millwood) 2004;23(2):127-41.
4. Rastogi A, Mohr BA, Williams JO, Soobader MJ, de Brantes F. Prometheus payment model: application to hip and knee replacement surgery. Clin Orthop Relat Res 2009 June 23 (Epub ahead of print).
5. de Brantes F, D'Andrea G, Rosenthal MB. Should health care come with a warranty? Health Aff (Millwood) 2009;28:w678-w687.

Thursday, December 17, 2009

Nikah



Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhaar mengungkapkan bahwa ada 5 (lima) sebab mengapa pernikahan menjadi sesuatu yang disyariatkan dalam Islam :

1.Untuk menjaga agama
2.Untuk menjaga akal
3.Untuk menjaga jiwa
4.Untuk menjaga harta benda
5.Untuk menjaga keturunan

Dari 5 (lima) alasan itu, bisalah kemudian kita mengambil kriteria calon pasangan yang hendak kita pilih mengawal, menemani, menyejukkan dan menjaga kita di sisa usia kita di jalan-Nya :

Ia hendaklah mampu menjaga agama kita, tidaklah kemudian malah menggoyahkan atau malah membuat kita menjadi tak lagi menggengamnya. Mengingatkan ibadah yang lalai, hati yang lupa, dan menguatkan perjuangan menegakkan kalimah-Nya.

Ia hendaklah punya semangat belajar, berusaha menempatkan ilmu sebagai dasar dari segala tindakan dan ucapannya, sehingga menjadi semakin bernilailah setiap amal perbuatan. Bukanlah tanpa alasan, para ulama sekelas Imam Bukhari dan Muslim, misalnya, menempatkan bab Ilmu menjadi bagian pertama dalam kitab Shahihnya.

Ia hendaklah mampu menghadirkan rasa aman terhadap jiwa pasangannya, melindunginya dari gangguan dan bahaya, memberikan ketentraman dalam relung qalbu, menerbitkan cahaya pada cita dan asa kehidupan.

Ia hendaklah mampu menjaga harta, tidak menghamburkannya untuk sesuatu yang sia-sia, tidak terlalu royal, tapi juga tidak jatuh kedalam jurang kekikiran.

Ia hendaklah mampu melahirkan dan membina keturunan yang kuat akal dan fisiknya. Tidak lemah harapan dan tekadnya. Tahu pula cara mendidiknya, menjadi madrasah pertama mereka, dan mengantarkan mereka dekat pada Tuhan-nya.

Dapatlah pula kita mengevaluasi dan menghisab diri, sudah pantaskah kita menjadi pasangan sejati karena lima sebab itu sudahlah ada di diri kita.

Sungguh telah jelas apa yang digariskan Allah azza wa Jalla dalam Kitab-Nya, mudah-mudahan kita tidaklah termasuk dalam golongan mereka yang diterpa keragu-keraguan atas kebenarannya.

Sunday, December 13, 2009

Laptop Gratiss!!!

Pengen dapet laptop gratis?
caranya gampang, tinggal gabung ke ezlaptop.com berikut:
http://ezlaptop.com/?r=302458
trus daftar dengan mengklik SINGUP
isi formulir dengan data Anda, lalu klik register yang ada dibawah formulir.
Selanjutnya Anda tinggal nunggu email konfirmasi dari ezlaptop dan klik CONFIRM E-MAIL.
Anda dah bisa LOGIN dan mendapat 5 kredit.
kumpulkan kredit hingga 186 lalu tukarkan dengan laptop yang Anda inginkan!
cara dapet kreditnya juga gampang, tinggal nunggu email masuk dalam inbox ezlapotop.com milik kamu dan klik inboxmu!

Saturday, December 12, 2009

Hukum Sukses Bisnis

=> Hukum 2T (TT), yaitu Hukum Tabur Tuai.

Hukum ini memberikan pengertian, siapa yang menabur ia yang akan menuai. Saya juga mempelajarinya dengan istilah Give and Take. Orang bisnis itu berbagi. Banyak membina hubungan dengan orang-orang yang tepat, akan mempermudah dan mempercepat bisnis.

Hukum 2B (BB), yaitu Hukum Bilangan Banyak.

Semakin banyak melakukan, semakin besar peluang keberhasilan.

=> Hukum 2D (DD) yaitu Hukum Dadu.

Hukum ini berhubungan dengan Hukum Bilangan Banyak. Hukum Dadu menggambarkan bahwa kita keep rolling saja apabila bisnis belum berkembang. Temukan "mata dadu enam" anda, artinya konsumen loyal atau partner bagus, supplier bagus. Ini yang saya maksudkan dengan mata dadu enam. Dalam Bisnis, ada berbagai jenis konsumen anda, temukan dan ciptakan konsumen yang merupakan "mata dadu enam" anda. keep rolling.

=> Hukum Paretto.

Hukum Paretto 80/20 ini menjelaskan bahwa 80% dari beberapa kegiatan yang kita lakukan ternyata menghasilkan cuma 20% hasil. Sedangkan di sisi lain, 20% dari kegiatan lain yang kita lakukan malah menghasilkan 80% hasil. Menyambung dengan Hukum 2D, jadi fokuslah pada kegiatan-kegiatan, partner-partner (konsumen ataupun supplier) yang 20% yang menghasilkan 80% kegiatan.

=> Hukum Proyek Orkestra.

Bisnis ibarat bermain orkestra, jadi bukanlah proyek solo. Anda tidak mengerjakannya sendirian, Anda bisa memilih dan mempunyai partner-partner bisnis Anda untuk membangun bisnis Anda. Dan Anda sebagai Mayoretnya. Misal, ketika anda ingin membuka usaha rumah makan, anda tidak perlu untuk menjadi jago masak kan? Begitu pula ketika anda ingin membuka usaha kontraktor? Anda tidak harus menjadi sarjana sipil atau arsitektur dulu. Ini sedikit cerita tentang paman saya yang kontraktor. Ia tidaklah lulusan sarjana teknik, hanyalah seorang lulusan SMA. Namun ia bisa mempunyai usaha kontraktor, karena ia mempunyai karyawan-karyawan yang lulusan dan pengalaman tehnik. Yang terpenting baginya adalah menemukan dan mendapatkan proyeknya. Jadi Bisnis bukan penyanyi solo, melainkan anda bermain di orkestra, sebagai mayoretnya, yang memimpin team orkestra anda.

=> Hukum Give and Take.

Orang Bisnis adalah orang-orang yang memberi.

Wednesday, December 9, 2009

Rahasia Mindset Para Pebisnis

Mindset atau Pola Pikir inilah yang menentukan sukses tidaknya seseorang.

Seorang Employee memilih kenyamanan finansial. Ia terbiasa menerima uang/gaji dari kantor tiap bulannya.

Seorang Self Employed memilih keamanan finansial. Ia terbiasa melakukan kerja sendirian, semuanya dilakukan sendiri, dia bossnya, dia sekretarisnya, dia keuangannya. Akibatnya, ia tidak mau mendelegasikan ke orang lain. Keamanan finansial belum tentu kebebasan finansial.

Beda dengan seorang pebisnis, ia memilih kebebasan finansial. Untuk meraih kebebasan finansial, ia rela mengorbankan dahulu kenyamanan dan keamanan finansialnya. Kenapa? Karena seorang pebisnis tau, ketika ia mencapai kebebasan finansial, ia sudah pasti akan mendapatkan kenyamanan dan keamanan finansial. Seorang pebisnis tau bahwa ia sedang membangun sumber uang, atau ibaratnya sedang memelihara kebun mangga.

Uang memang diinginkan sebagai tujuan membangun bisnis. Cuma kalau ingin memulai membangun bisnis, sebaiknya hindari motivasi untuk mendapatkan uang lebih banyak.

LOH!!! Kenapa Begitu?

YA!!! Kalau seseorang memulai bisnis dengan tujuan di awal untuk mendapatkan uang lebih banyak, biasanya hal ini akan membuat orang itu cepat lelah. Kenapa bisa begitu?

Sama sperti ketika membangun sebuah perkebunan mangga, awalnya kita menyiapkan lahannya dulu, dengan pembersihan lahan, terus pemupukan lahan, setelah itu menanamkan benihnya, merawat benih, dengan pemupukan, menjaga dari hama dan gulma, terus tumbuh dan berkembang, sampai akhirnya berbuah.

So, mulailah bisnis dengan motivasi di luar motivasi uang, misalnya :

Belajar Membangun aset

Menambah pergaulan dan wawasan

Memberikan lapangan kerja buat orang lain

dan lain-lain atau miliki motivasi di luar untuk diri sendiri, misal miliki motivasi untuk membantu orang tua, membahagiakan orang tua.

Ibarat proses produksi di pabrik, selama masukan bahan-bahan benar dan proses produksi benar, maka produk yang dikeluarkan pun akan benar dan bagus.

Begitu pula, dengan bisnis. Asalkan mindsetnya benar dan caranya benar, maka hasil uang pun itu pasti.

Contoh Kasus : Ketika seseorang membuka restoran, awalnya restoran baru sedikit pengunjung, sepi. Nah, kalo motivasi atau tujuan hanya fokus pada uang, maka ia akan mengalami pusing. Sebaliknya, apabila ia memiliki motivasi lain juga seperti memberikan makanan yang terbaik, pelayanan terbaik, maka fokusnya pada memberikan yang terbaik buat calon konsumen. Sebaliknya, kalau cuma ingin uang, ia pasti akan terus mengeluh karena uang yang didapat awalnya kecil.

Uang hanyalah sebuah efek samping dari sebuah proses.

Mutiara Sukses

Kita tidak tahu apakah Allah akan memberi rizqi yang banyak atau sedikit kepada kita. Kita juga tidak tahu kapan kita akan sukses. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan saat ini adalah berusaha untuk mendapatkannya.

Seringkali pikiran kita sendirilah yang membatasi apa yang bisa dan apa yang tidak bisa kita raih. Sementara tindakan kita akan sangat tergantung pikiran kita.

Saya percaya, esok sudah tidak boleh mengubah apa yang berlaku hari ini, tetapi hari ini masih boleh mengubah apa yang akan terjadi pada hari esok.

Hidup ini bukanlah seperti debu yang beterbangan oleh angin. Hidup kita bukan tiada maknanya. Setiap kita mempunyai misi yang besar di dunia ini

Dasar iman adalah hati yang hidup, asas ikhlas adalah hati yang suci murni, landasan semangat adalah perasaan yang kuat, sedangkan amal adalah tekad yang selalu segar.

Monday, December 7, 2009

ALL READY vs ALREADY

Kesalahan penggunaan perkataan all ready dan already.

Dua perkataan ini seolah-olah hampir sama namun hakikatnya ia berbeda. all ready terdiri daripada dua perkataan manakala already satu perkataan.
all ready bermaksud "bersedia secukupnya".

Sebagai contoh: "Are you ALL READY for the test?"
Adakah kamu bersedia secukupnya untuk ujian itu?”

Sedangkan ALREADY ialah satu kata keterangan yang kita boleh terjemahkan ke dalam Bahasa Melayu sebagai “sudah” atau “dah”.

Sebagai contoh:
"I asked him to come to the cinema but he'd ALREADY seen the film."
“Saya mengajaknya menonton wayang tapi dia sudah pun menonton cerita itu."

Sekali lagi saya ingatkan, ALL READY = bersedia secukupnya. ALREADY = sudah

BORED vs BORING

Kesalahan ialah pada perkataan BORED dan BORING. Apabila kita merasa bosan kita selalu menyebut “boringnya...” Ini mungkin bahasa rojak bagi kita.

Baiklah mari kita lihat cara penggunaan perkataan BORING dan BORED yang betul.
BORED ialah kata sifat yang menceritakan ketidakseronokan seseorang sebab tiada apa yang akan dilakukan.

Sebagai contoh:
She was so BORED that she fell asleep.
Dia berasa bosan lalu tertidur.

BORING adalah kata sifat. Namun ia bermaksud sesuatu yang tak seronok dan tak mengujakan.
Contoh:
The lesson was so BORING that she fell asleep.
Pelajaran itu sungguh membosankan lalu dia tertidur.

Kesimpulannya jika Anda ingin mengatakan ‘seseorang itu merasa bosan’ gunakan BORED kalau ingin mengatakan ‘sesuatu itu membosankan’ gunakan BORING.

HEAR vs LISTEN

HEAR ialah kata kerja yang bermaksud mendengar sesuatu bunyi secara bersahaja.
Sebagai contoh:
She HEARD a noise outside. (HEARD ialah past tense bagi HEAR)
Dia terdengar bunyi bising diluar.

LISTEN ialah mendengar dengan teliti. Semasa di sekolah guru-guru Bahasa Inggris kita biasa menyebut “ LISTEN here.”, “ LISTEN class.” Jadi, apa yang diminta oleh guru kita itu ialah supaya kita mendengar dengan teliti tentang apa yang ingin disampaikan.

Contoh lain:
She LISTENED to the noise and realised it was only a cat.
Dia mendengar (dengan teliti) bunyi bising itu dan menyedari ia hanya seekor kucing.

Sekali lagi saya ulang, HEAR=dengar, LISTEN=dengar dengan teliti.

ANY ONE vs ANYONE

Kesalahan penggunaan perkataan ANY ONE dan ANYONE. Nampak sama tapi tak serupa.

ANY ONE terdiri dari dua kata sedangkan anyone hanya satu kata.
ANY ONE bermaksud setiap orang atau benda dari satu kumpulan orang atau benda.
Mari kita lihat contoh.

I can recommend ANY ONE of the books on this bookstore.
Saya boleh merekomendasikan setiap buku dari toko buku ini

ANYONE artinya seseorang. Contoh:
Did ANYONE see that UFO?
Ada seseorang yang melihat UFO itu?

Sunday, December 6, 2009

AFFECT vs EFFECT

Kesalahan penggunaan perkataan AFFECT dan EFFECT.
AFFECT dimulai dengan ‘AF’ sedangkan EFFECT bermula dengan ‘EF’.

AFFECT biasanya bertindak sebagai verb atau kata kerja (tindakan).
Ia bermaksud memberi kesan kepada seseorang atau sesuatu atau mempengaruhi dan mengubahnya.

Contoh:
The noise outside AFFECTED my performance.
(Bunyi bising di luar memberi kesan kepada persembahan saya.)

EFFECT ialah noun atau kata nama (benda). Ia bermaksud menunjukkan akibat atau kesan terhadap seseorang atau sesuatu.

Contoh:
Getting to fat is one of the EFFECT of eating too much.
(Jadi gemuk ialah akibat dari makan yang terlalu banyak.)

The television programme had a strong EFFECT on her.
Rancangan televisi itu meninggalkan kesan yang mendalam terhadapnya.

Perhatian :effect selalunya diikuti dengan kata sendi on atau didahului oleh artikel an dan the.